Tiga Hari: Hari Pertama

qis
2 min readJan 12, 2024

Setahun berlalu sejak ia duduk sebrangku dan memintaku untuk menjauh agar ia bisa fokus akan tujuan hidupnya kemudian kembali dengan pesan sederhana,

“Aku di Paris.”

3 kata yang membuat hatiku berdebar. Aku tau aku harus abaikan saja…kan?
Tapi jemariku langsung membalas dan dalam sekejap,
Aku di kamarku; memasang bedak dan maskara sembari memilih gaun merah atau biru. Aku tak mau terlihat ingin membuatnya terpesona tapi di saat bersamaan aku memang ingin ia tercengang.

Akhirnya aku memilih gaun merah.
Aku mengenakan hak tinggi yang nyaman karena aku tau pertemuan ini akan melibatkan banyak jalan kaki,
Dengan tatapan terakhir di kaca, aku keluar rumah.

Aku menunggunya di tempat ia memberikan surat,
Sedikit jengkel sebagaimana tempat sederhana ini jadi memiliki cerita yang panjang. Tiba-tiba aku merasakan sebuah sosok di sampingku,
Aku menoleh dan dia langsung tersenyum.
Senyuman yang sudah lama tak kulihat.
“Hai.” Ujarnya hangat,
“Lama amet” balasku langsung ingin membuatnya kesal,
Ia mengambil tempat di sampingku dan tanpa basa-basi mengeluarkan kamera analog.

“Untuk kamu.” katanya, menyodorkan kamera.
“Kenapa kamu ngasihin kamera ke aku?”
“Yah aku punya banyak.” Jawabnya dengan nada bercanda, susah untuk membuatnya mengeluarkan kata hatinya.
Aku memandangi kamera itu, kemudian ia menarik tanganku “Yuk, cari gambar.”

Kita berjalan melewati Notre Dame, sampai di sebuah jembatan, aku mengangkat kamera ke arah mataku dan aku bisa merasakan ia beranjak ke belakangku. Aku merasakan tangannya mengarahkan tanganku,
Déjà vu.
Seperti hari itu di metro Madeleine ketika aku pertama kali merecokinya tentang kamera yang ia bawa dan ia langsung medemonstrasikan dengan gestur yang sama.
Kita lanjut berjalan dan akhirnya mengabiskan sisa sore hari di sebuah taman.

Berjalan di taman sembari tangan kita dengan halus bersentuhan satu sama lain,
Berhenti di samping air mancur, aku mengambil kursi untuk duduk di sampingnya — tapi kusisihkan jarak antara kita. Dari yang kukira ia juga hanya memberi jarak, ia malah menarik kursiku dan menaruh tangannya di bahuku. Berbagi cerita dan lelucon, ia masih gemar membuatku jengkel dengan godaan-godaannya tapi tak dipungkiri itu juga yang membuatku menyukainya.

Matahari mulai terbenam, taman sudah mau tutup namun kita berdua enggan untuk beranjak dan mengakhiri hari ini.
Kita berjalan menuju gerbang; ia meraih tanganku untuk dijerat dengan jemarinya.
Ketika kita berada di luar gerbang,
Ia menarikku dan mencium lembut bibirku.

--

--