Tiga Hari: Hari Kedua

qis
4 min readJan 17, 2024

Aku menyelesaikan kerjaan dan membiarkan sisanya menjadi masalah hari esok. Pukul sudah menunjukkan waktu pulang, dengan kesal aku menjinjing tas hitamku, mengucapkan sampai jumpa kepada rekan kerja, dan beranjak keluar.
Hari yang mendung, aku berjalan sembari merogoh switer dari tas ketika HPku berdering,
“Udah selesai kerjanya?” ujarnya,
“Udahlah.” jawabku singkat, jengkel.
“Mana… Kok ga keliatan?”
Mataku langsung terbelalak mendengar kalimatnya, aku berlari kembali ke tempat kerjaku
dan di situ dia berdiri;
Bersandar di tembok bersama gitar di sampingnya, dengan kedua tangannya di dalam saku celana hijau lumut favoritnya.
Aku mengambil waktu untuk mengapresiasi sosoknya,
Terasa seperti baru kemarin tapi ternyata sudah lebih dari setahun yang lalu ketika kala itu juga aku memandanginya dari jauh, yang menungguku di depan stasiun kereta dengan kaos hitam dan jaket coklat bersama gitar di punggungnya dan kini ia masih tidak berubah, walaupun bisa sangat menyebalkan tapi dengan ia berdiri bersandar sembari menunggu kehadiranku, terlihat hangat dan tenang.
Aku mendekatinya, matanya berbinar melihatku — betapa aku berharap binaran itu kan selalu hanya untukku…

Aku memukul ringan bahunya,
“Eh kenapa??” ujarnya sambil tertawa,
“Kamunya ga bales, ga suka.” geramku, perlahan ia mendekap ragaku,

Aku lupa seberapa nyamannya pelukannya.

Aku merasakan tangannya membelai kepalaku, sembari aku membalas dekapannya.
Ia pun merenggangkan pelukannya,
Menatapku dan mengusap pipiku dengan halus,

Aku lupa seberapa aku merindukannya.
Aku lupa seberapa aku menyayanginya.
Aku lupa seberapa menyakitkannya harus melepas.

Dan di situ aku menatapnya dengan rasa yang kukira sirna.
Tangannya kembali perlahan terjerat dengan milikku,
Kembali bersama di bawah kota cinta.

Sampai di Champs de Mars, duduk di kaki menara Eiffel, ia mengeluarkan gitarnya,
Satu lagu, dua lagu, tiga lagu, aku bernyanyi dengannya,
Tiba-tiba dia berhenti di tengah petikan untuk menatapku,
“Kok berhenti?” tanyaku heran,
Ia hanya menggelengkan kepalanya sembari menaruh rambutku ke belakang telinga,
“Aku seneng aja” katanya, sederhana.
Seketika waktu terasa berhenti.
Inikah yang orang bilang dunia milik berdua?

Ia mengemas gitarnya, kukira itu pertanda ia ingin pulang,
tapi ia memposisikan duduk di belakangku kemudian mendekapku erat dari belakang, dengan tangannya perlahan mengelus lengan bawahku sambil kita bercerita,
“Kamu pernah kepikiran aku ga si? Kepikiran kita?” tanyaku sebelum menoleh wajahnya yang hanya beberapa centi dari milikku,
“Kadang… Sering…” Ia menghela nafas sebelum melanjutkan,

“Lebih dari yang kukira…”

jawabnya lembut menyandarkan kepalanya di bahuku,
Kita hanya berjalan di tempat, aku tau;
Tapi, setidaknya aku ingin tau apa maksud alam semesta mempertemukan kami jika hanya untuk dipisahkan?
Belajar mencinta tanpa memiliki?
Belajar melepas?
Menyadari bahwa beberapa cerita hanyalah bab di sebuah buku.

Seorang laki-laki setengah baya mendekati kami,
“Kalian saya lihat dari jauh tadi bawa gitar tapi ga nyanyi-nyanyi, nyanyi dong!” katanya menebarkan senyuman lebar sambil menunjuk ke gitar yang tertutup rapat.
“Saya ga bisa nyanyi…” balas lelaki yang takkan pernah kumiliki kemudian ia menoleh ke arahku dan melanjutkan dengan tatapan bangga serta hangat, “Tapi wanita ini bisa.”
Tatapannya tak pernah bohong, apa yang harus dilakukan ketika aku menatap ke mata yang berbinar penuh kasih?
Aku hanya bisa tersenyum malu,
“Kalian pasangan?” tanya bapak dengan kaos polo yang menghampiri tadi,
Aku kembali menoleh ke arah lelaki yang memelukku untuk menyadari dia masih memandangiku,
“Iya.” jawabnya lembut, sebelum menghadap bapak tersebut agar tidak terlihat sombong.
Aku bisa merasakan pipiku terasa panas.
“Romantis, bukan, berada di kota cinta bersama pasangan.” Bapak itu mengucapkan selamat tinggal dan kembali ke pelukan pasangannya yang sudah menunggu.

“Jadi, kita pasangan ni?” godaku mendekatkan diri padanya,
Ia pun memperat pelukannya, “Ya, kapan lagi?”
Langit kota cinta perlahan menunjukkan permata-permatanya,
Angin sejuk ditemani oleh cerita angan-angan yang menyenangkan hati tapi juga mencekam,
Mengetahui itu hanya terjadi di kehidupan dimana tembok di antara kita sirna.

“Kamu mau anter aku ke bandara besok?” tanyanya, untuk alasan tertentu aku bisa merasakan kesedihan di suaranya,
Aku menggelengkan kepala, “Aku kerja.” Aku bohong.
Betapa aku ingin mengantarnya tapi aku tak tau apa aku kuat untuk perpisahan terakhir karena kalau dengan begini, aku bisa menganggap dia hanya pergi untuk sementara dan akan kembali ke dekapanku,
Walau itu hanya fatamorgana.

Angin malam semakin menusuk, dengan tangan terjerat satu sama lain kita jalan ke arah kereta bawah tanah. Perasaan ini sama seperti hari itu ketika aku mengantarnya ke stasiun kereta musim panas lalu, hatiku menjadi berat dan pegangan tanganku sedikit lebih erat dari biasanya.

Kita berhenti di lorong kereta, aku berdiri di atas anak tangga untuk menyetarakan tingginya,
Kutatap kedua matanya sembari pipinya kuelus lembut, kenapa kita harus berpisah lagi?
Aku menahan air mata saat aku mendekapnya erat,

“Aku akan selalu sayang sama kamu. Kamu ga perlu membalas yang sama, kamu bahkan ga perlu bilang sayang saat ini, aku cuma mau kamu tau kalo kamu punya tempat di hati aku, selalu.” bisikku di telinganya,

Aku melepas dekapanku, “Jangan lupain aku.”
Dia membelai pipiku, “Ga akan.” janjinya mencium pipiku dan menarikku ke dekapannya.

Aku memandanginya memasuki pintu kereta, sambil melambaikan tangan hingga kereta pun membawanya pergi.

--

--